ETALASE “KARDUS” PEMBERDAYAAN

Dinamika pembangunan di Sulawesi Tengah dalam kurun waktu tiga tahun terakhir diwarnai dengan aneka macam rencana investasi, terutama sektor pertambangan. Diberbagai belahan desa dan pelosok Kabupaten, masyarakat ramai membicarakan soal apa manfaat yang didapatkan dari industri pertambangan. Diantara perbincangan itu,Corporation Social Responsibility (CSR) menjadi topik mencolok. Bagi sebagian masyarakat, program ini di-mitos-kan dapat membawa perbaikan ekonomi sebagai imbal balik dari investasi. Demikian halnya, fihak korporasi menggunakan senjata ini sebagai wujud pencitraan, jika tidak ingin disebut sebagai bisnis “kotor” atau perusak lingkungan.

Kemunculan Corporation Social Responsibilty (CSR) dapat dilacak dalam literatur-literatur awal yang membahas CSR pada tahun 1950-an. Dalam berbagai catatan itu disebut CSR sebagai Social Responsibility (SR bukan CSR). Tidak disebutkannya kata corporate dalam istilah tersebut kemungkinan besar disebabkan pengaruh dan dominasi korporasi modern belum disadari banyak fihak saat itu.

Adalah Howard R. Bowen dalam bukunya: “Social Responsibility of The Businessman” dapat dianggap sebagai pemberi ide bagi CSR modern. Dalam buku itu, Bowen (1953:6) memberikan definisi awal dari CSR, secara ringkas bahwa masalah sosial adalah bagian dari tanggung jawab para bisnisman (pelaku usaha) dan pemerintah. Meski terkesan bias gender, ide Bowen tersebut telah memberikan sumbangsih besar pada peletakan fondasi CSR. Dengan demikian, Bowen wajar disebut sebagai salah satu pendiri konsep CSR.

Belakangan konsep CSR berkembang sedemikian rupa, tidak hanya terbatas pada pengelolaan komunitas atau pemberdayaan, tetapi telah berkembang menjadi satu topik tersendiri, dari bisnis turunan yang dikembangkan oleh korporasi besar bekerjasama dengan akademisi kampus dan LSM-LSM yang menganut konsep pemberdayaan. Bahkan CSR dibeberapa kampus Universitas diminati sebagai sebuah program studi, yang juga memproduksi “sarjana CSR.”

Dalam konteks Sulawesi Tengah, wacana dan konsep CSR moderen berkembang ketika diperkenalkan oleh sejumlah perusahaan global terkemuka seperti Inco dan Rio Tinto. CSR di Sulawesi Tengah diwujudkan dalam kerangka kerjasama antara fihak pemerintah, LSM, dan lembaga penelitian kampus. Diantara program itu, sebut saja Posdaya (Posko Pemberdayaan) sebuah metode terapan pemberdayaan yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian Universitas Tadulako bekerjasama dengan PT INCO (sekarang Vale Indonesia). Program ini berisi bantuan karitatif berupa peternakan kambing per-kelompok, usaha kerajinan dan macam-macam yang “disuntikkan” bagi masyarakat sekitar areal konsesi tambang di Bahodopi Morowali.

Selanjutnya, konsep CSR kian meluas dan menjadi wacana umum. Setiap kali investasi masuk suatu daerah dan Kabupaten maka tuntutan utama yang mengemuka adalah CSR. Dibanyak tempat masyarakat menjadi tergantung terhadap “kebaikan hati” perusahaan, bahkan seorang masyarakat di Bahoue Petasia diserang penyakit gatal-gatal yang diduga akibat limbah ore PT Mulia Pacific Resources (MPR). Celakanya, bukannya menuntut pertanggung jawaban justru mereka berkata” ini perusahaan bagusnya berikan kita uang.”

Terlepas dari desakan ekonomi praktis, akibat tuntutan kebutuhan yang terus meningkat, situasi pragmatisme masyarakat disekitar rencana pertambangan saat ini disumbang besar oleh bergulirnya wacana CSR, yang mengakibatkan konsep pengelolaan SDA justru menjadi kabur dan diselimuti pola ketergantungan terhadap”wajah baik perusahaan.” Setiap informasi yang berkembang tentang rencana investasi, masyarakat dan elemen pendampingnya maju digarda depan menuntut CSR. Mereka seakan tidak peduli terhadap masalah lain yang timbul dari pertambangan. Lebih parah lagi, terkadang, Gubernur, Bupati hingga kepala Dinas berfungsi sebagai juru bicara perusahaan yang dibantu anggota DPRD setempat menjelaskan tentang CSR. Yang memalukan, kerapkali mereka memberikan pujian seperti dilakukan Dinas ESDM Morowali belum lama ini, bahwa CSR adalah wujud sumbangsih nyata dari keberadaan investasi.”

Memori Kolektif: Ketidaksadaran atau Pembungkaman Teorganisir

Lalu apa masalah mendasar dengan CSR saat ini? Pertama, hadirnya CSR telah menimbulkan kesesatan (pengalihan) informasi seputar problem mendasar dalam hubungan produksi pertambangan yang syarat dengan logika kapitalislik. Untung – rugi dan akibat-akibat turunan yang timbul dari ekspansi pertambangan tidak terjelaskan dalam debat-debat seputar pertambangan, baik ditingkat pedesaan maupun ditingkat pemerintah lokal. Bukannya mendebat pengambilan manfaat secara signifikan dari eksploitasi pertambangan. Justru, disatu fihak pemerintah dan aktivis lokal, melompati masalah pokok itu kedalam soal lips service, berkutat dengan bantuan, yang berujung pada demonstrasi akibat tidak adanya sumbangan dari fihak perusahaan. Selanjutnya, masalah yang timbul dari ekspansi pertambangan di identifikasi dalam memori kolektif: karena tidak diberikannya bantuan atau tidak jalannya program dari CSR korporasi tersebut.

Akibatnya, perhatian terhadap penguasaan segelintir korporasi global seperti Inco, Rio Tinto, Norilsk, Bumi Resources, dan lain-lain kurang mendapat tempat. Sebaliknya, para pemilik korporasi itu telah dengan mudah menyeret peran dan fungsi kekayaan sumber daya alam (SDA) sebagai kekayaan publik jatuh kedalam prinsip penguasaan “private surflus coorperation” atau pemilik modal menarik keuntungan yang super dari proses pertambangan. Bahkan dalam keadaan tertentu, layanan sumbangan itu dijadikan alat untuk memukul mundur perjuangan keadilan SDA menjadi “perang” antar desa. Dimana, sebagian penduduk diusap-usap dengan layanan tinggi sementara yang lain dibiarkan melarat. Yang pada akhirnya memupuk kecurigaan dan silang pendapat ujungnya perkelahian antara kampung.

Kedua, kritik atas FDI (Foreign Direct Investment) atau investasi langsung luar negeri kian mengalami kemandulan. Dimana, posisi perusahaan dari satu negara seperti China, Jepang, dan Brasil, menanamkan modalnya dalam jangka panjang ke sebuah perusahaan di Indonesia khususnya Sulawei Tengah kurang diperhatikan. Padahal, disaat yang sama perusahaan yang ada di negara asal (biasa disebut ‘home country’) bisa mengendalikan perusahaan yang ada di negara tujuan investasi (biasa disebut ‘host country’) baik sebagian atau seluruhnya. Sehingga, mereka dengan mudah meng-apropriasi surflus (keuntungan) keluar dari Indonesia kemudian menginvestasikan menjadi modal ditempat lain. Sementara kekuatan usaha-usaha nasional BUMN dan BUMD semakin hari mengelami kekerdilan modal, management dan kemampuan produksi yang pada akhirnya diambil kesimpulan bahwa privatisasi akan membantu. Akhirnya jatuhlah sebagian (bahkan mayoritas) saham perusahaan nasional (BUMN) ke dalam kontrol korporasi global tersebut melalui pola integrasi modal produktif dan saham portopolio secara vertikal.

Contoh kasus ini dapat dijumpai disejumlah Kabupaten seperti Morowali PT INCO yang dengan mudah mengalihkan tanggung jawab dengan cukup merubah nama menjadi Vale Indonesia, sahamnya dikuasai secara mayoritas oleh CVRD Brasil. Demikian halnya dengan PT Bintang Delapan Mineral yang dikendalikan oleh Dingxin Group sebuah korporasi China, dan pula milik Australia dan Rusia yang sedang bergerilya dibalik layar untuk mengakuisi saham mayoritas ditubuh PT ANTAM.

Ketiga, wacana dominan pertambangan beserta propaganda “kebaikan-kebaikannya” itu telah menyeret logika publik terbalik dan mengulang suatu kepercayaan tentang mimpi sejahtera, pertumbuhan ekonomi dan efek domino investasi pertambangan. Masyarakat di Sulteng, seakan tidak pernah menyadari bahwa informasi semacam itu adalah pengulangan yang telah membius kesadaran kita tentang suatu pola investasi-dan masa depan pasca investasi. Dimana, pengerukan bumi dan hasil-hasilnya dipaku menjadia satu-satunya alasan PAD dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai perbandingan kita bisa menengok, praktek perambahan Ebony (kayu hitam) dimasa lampau.

Sekitar tahun 1960 hingga 1980-an sepanjang pesisir Parigi hingga Kabupaten Poso merupakan tempat kayu hitam berkembang biak. Tetapi apa yang terjadi setelah booming industri kehutanan? Saat ini tak satu batang pun kayu hitam bisa ditemui. Demikian juga hasilnya, para konglomerat itu justru bangun istana di Singapore. Lalu, bagaimana dengan Booming nikel atau demam investasi pertambangan saat ini? Dalam kurun waktu 40 tahun terakhir Indonesia memasok sekitar 50% kebutuhan nikel jepang yang disusul sekitar 20-30 persen kebutuhan industri China dan tinggal mempunyai cadangan untuk pasokan masa depan sekitar 25 tahun lagi.

Dengan demikian, wacana CSR telah menyumbang sekali lagi proses pengulangan yang sama atas logika “sesat” pembangunan “boros” sumber daya alam. Dan bukan jalan keluar kesejahteraan seperti dalam literatur-literatur para pembelanya, melainkan tempat bersembunyi para Kapitalis.

Oleh: Andika

(Manager Riset dan Kampanye JATAM Sulteng, 2012)

Tinggalkan Komentar Anda :