CATATAN LAPANGAN: MASALAH TAMBANG MOROWALI KOMPLEKS

Bila saja anda pernah menginjakan kaki di Bahodopi Kabupaten Morowali. Anda akan menemukan Sungai Bahongkolangu telah berubah warna, bak “orange jus”, itu bukan minuman. Perusahaan tambang telah mencemarinya dengan membongkar kawasan hutan dihulu sungai.

”kami sulit menikmati air sungai lagi, karena sudah kotor”begitu seorang ibu mengeluh.

Lantaran itu, masyarakat disini seakan terbiasa menerima banjir. Setiap musim penghujan datang desa yang berada kawasan hilir seperti Fatufia, Bahomakmur, Bahodopi, Lailia, Keurea menjadi jalur bebas hambatan, air akan melaju kencang tanpa permisi menorobos pagar-pagar kebun, bahkan juga numpang membangun kolam didalam rumah. Sebut saja, Husnia (57), ibu rumah tangga suku asli To Bungku ini menuturkan

“sudah hampir 20 tahun kami berdomisili di wilyah ini namun belum pernah ada banjir sebesar, nanti setelah perusahaan BDM ”.

Adalah PT. Bintang Delapan Mineral (BDM), maskapai yang menggunakan logo Divisi Mineral (mirip angkatan darat TNI) juga menimbulkan masalah di desa Lailia, masih di kecamatan Bahodopi. Setiap hari, gemuruh truk raksasa perusahaan melaju tanpa ragu. BDM, menggunakan separuh jalan publik sebagai jalur koridor. Karena sangat dekat dengan pemukiman penduduk, membuat macam-macam gangguan menyelinap dalam aktivitas sehari-hari warga, yang juga petani dan nelayan.

“Rumah kami menjadi ‘sasaran’ debu truk-truk perusahaan yang lewat sehingga hampir tiap jam kami menyapu lantai dan tebalnya hampir 1 cm per menit. Kami tidak bisa bayangkan kalau ini berimbas pada kesehatan kami. Belum lag tanaman kami yang ikut terkenai dampak dari debu tersebut”keluh seorang Petani.

Konon kabarnya, setelah perusahaan berlalu-lalang diwilayah itu, tanaman pertanian mereka menjadi sulit tumbuh ideal, dan itu berdampak pada hasil.

“Kami telah mengkonfirmasi masalah ini ke perusahaan tapi perusahaan tidak memberikan respon apa-apa, bahkan meminta kami untuk pindah dengan areal itu”ungkap lelaki paruh bayah itu.

Tak kalah hebat, lantaran itu issu pengusiran PT Inco menjadi harga mati yang ditawaarkan masyarakat blok bahodopi terhadap pemerintahan morowali. Perusahaan yang mengantongi izin kontrak karya ini, telah mendapat perlawanan yang cukup massif dari masyarakat sekitar tambang blok Bahodopi.

Menurut salah seorang tokoh pemuda di desa kolono bernama Harsono mengatakan” jika PT Inco tidak memberikan hak-hak masyarakat, maka PT. Inco harus angkat kaki dari bumi Morowali. Sejak masuknya Inco, kasus yang sering terjadi di wilayah pertambangan Morowali adalah Perampasan lahan; Pengrusakan lingkungan; pengkaburan terhadap Hak-hak buruh; dan intimdasi terhadap masyarakat sekitar tambang.

Ragam Masalah Tambang

Salah satu kasus yang sering terjadi di wilayah pertambangan adalah perampasan lahan. Menurut salah seorang masyarakat yang berada di wilayah tambang bungku selatan desa buleleng yang tidak mau disebutkan namanya bahwa perusahaan hanya mengganti tanah mereka dengan harga Rp.1.000,- per meter untuk yang tanah yang ada tanamannya dan Rp.850,- untuk tanah yang tidak ada tanamannya dan apabila masyarakat tersebut tidak mau memberikan tanahnya maka mereka di intimidasi oleh aparat kepolisian.

Maraknya penerimaan penerimaan tenaga kerja lokal oleh perusahaan-perusahaan tambang di morowali ternyata tidak didorong dengan pemenuhan hak-hak buruh. Contohnya, seperti upah buruh yang tidak tetap. Kasus ini sering terjadi diseluruh wilayah perambangan morowali.

Begitu pula di desa Buleleng, Laroenai, Torete yang merupakan areal PT. TAS ternyata pemenuhan hak-hak buruh juga tidak di penuhi. Salah satu contohnya adalah tidak adanya kesepakatan kontrak kerja bersama. hal ini mengakibatkan upah buruh kadang tidak menentu dan bahkan tidak dibayarkan selama sebulan dan ironisnya lagi perusahaan yang melakukan sub kontrak sering berkelit dan bahkan melarikan diri tidak mau membayar upah buruhnya.

“Buruh disini ingin memperjuangkan haknya namun mereka tidak paham tentang hak-haknya” ungkap Abdul muis.

Salah seorang anggota polsek Bungku Selatan menyatakan, kami sudah berusaha untuk menindaklanjuti tuntutan masyarakat ini tapi ternyata buruh di perusahaan tersebut tidak menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan.

Perusahaan yang merupakan sub kontrak dari PT. TAS (Tehnik Alum Service) seperti PT. TBI (Tata Bumi Indonesia), PT. TSM (Trans Sulawesi Mineral), PT. SIM (Sinyu Indonesia Mining) membohongi masyarakat dengan modus meminjam uang masyarakat dengan perjanjian akan dibayarkan setelah pemuatan ore. Namun setelah pemuatan ore peruasahaan tersebut melarikan diri dan tidak di tahu kemana rimbanya. Anehnya lagi PT. TAS yang merupakan perusahaan induk juga tidak mau bertanggung jawab.

“kerugian saya mencapai 70 juta rupiah. Sudah banyak cara yang kami lakukan untuk meminta tanggung jawab perusahan, untuk mengganti semua uang kami namun perusahaan yang bersangkutan tidak tahu dimana rimbanya”.

Perusahaan induk yakni PT. TAS sendiri juga tidak tau menahu dengan masalah itu. Lucunya, PT TAS berjanji akan membantu masyarakat untuk mencari tahu ke tiga perusahaan itu dan akan membantu masyarakat untuk membawa masalah ini ke ranah hukum. Tapi hingga detik ini tidak ada kejelasan.

Selain itu, masyarakat juga sudah menyurat ke Pemerintah Daerah namun responnya dingin.

Di wilayah PT. Tas dan PT. Hard Target yakni desa Buleleng dan torete, perusahaan menggunakan jasa kepala desa dan BPD untuk membangun kutub pertikaian antar warga, sehingga konflik horizontal dalam desa semakin menajam.

PT. TAS (Tehnik Alum Service) sendiri adalah perusahaan yang mengantongi izin KP dari bupati morowali. Perusahaan yang mengolah sejak dari tahun 2007, dari awal sudah bermasalah dengan proses pembebasan lahan. Tanah Masyarakat hanya dihargai dengan Rp.1.000,- per meter untuk yang tanah yang ada tanamannya. Sementara untu tanah yang tidak ada tanamannya dihargai Rp.850,-.

PT TAS juga melakukan eksplorasi di areal APL yang diklaim masyarakat buleleng sebagai tanah adat. Karena caplokan Tanah Adat inilah kemudian menimbulkan masalah di masyarakat. Sebanyak 64 hektar lahan diambil perusahaan tanpa kompensasi.

Karena mengalami kebuntuan negosiasio, kasus ini difasilitasi oleh pihak BPN pada tanggal 13 Maret 2010, bertempat di hotel Anunta Baru Kelurahan Bungi Kecamatan Bungku Tengah. Pertemuan itu merekomendasikan pembayaran lahan masyarakat sekaligus mengakui tanah adat dan mengganti rugi lahan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun sampai saat ini PT.TAS enggan melaksanakan rekomendasi itu.

Setelah menyelesaikan proses pembebasan lahan yang bermasalah, PT. TAS mulai melakukan eksplorasi dengan menggandeng beberapa perusahaan (subkon).

PT. TBI (Tata Bumi Indonesia), perusahaan ini melakukan proses eksploitasi selama 2 bulan dengan memakai tenaga kerja kontrak (outsorching dan tidak mengupah buruhnya selama 1 bulan kerja). Setelah PT.TBI diusir oleh PT.TAS dengan alasan yang tidak jelas PT.TAS memasukan PT.MKM (makindo kolaka mandiri) yang kemudian menggandeng PT. SIM (Sinyu Indonesia Mining) dan PT. TSM (Trans Sulawesi Mineral). Kedua peusahaan yang mengantongi izin subkontrak dari PT. TAS, ini beroperasi selama 3 bulan. Dengan merekrut tenaga kerja sebanyak 74 orang dan tidak mengupah buruhnya selama 3 bulan kerja.

Selain persoalan upah buruh yang tidak dibayarkan, keempat perusahaan ini meninggalkan utang dimasyarakat. Karena pada saat keempat perusahaan beroperasi, perusahaan ini memakai uang masyarakat dengan modus meminjam uang dengan janji akan diganti. Sehingga dalam proses operasi hampir semua aktifitas perusahaan seperti masalah bahan bakar, konsumsi karyawan, serta kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan karyawan lainnya ditanggulangi masyarakat. Utang keempat perusahaan ini sekitar ratusan juta rupiah dan sampai saat ini tidak dibayarkan.

Setelah keempat perusahaan tersebut melarikan diri, PT TAS kembali akan mengontrak PT. Mulia untuk melakukan penambangan di arealnya. Kasus ini sudah berapa kali coba dikonfirmasi ke PT. TAS. Namun pihak perusahaan tidak mau menanggung semua gaji karyawan dan utang keempat perusahaan tersebut. PT TAS juga berjanji akan memfasilitasi pertemuan karyawan serta masyarakat dengan keempat perusahaan tersebut namun sampai saat ini tidak ada kejelasannya.

Pada tanggal 27 oktober 2010, masyarakat mengirimkan surat pengaduan yang ditujukan pada Bupati Morowali, DPRD Morowali, Kapolres Morowali, dinas pertambangan, dinas Tenaga Kerja dan transmigrasi, dinas lingkungan Hidup, camat Bungku Selatan, Danramil, dan Kapolsek Bungku Selatan. Namun surat ini tidak direspon oleh Bupati Morowali Anwar Hafid.

Tak berhenti disitu, kekecewaan terus menyusul, pada tanggal 01 Desember 2010, masyarakat melaporkan kasus PHK dan pembayaran sisa gaji karyawan oleh PT. TSM dan PT TBI ke Polsek Bungku Selatan. Setelah dikonfirmasi oleh masyarakat tentang tindak lanjut dari kasus tersebut, ternyata Polsek juga kewalahan menangani kasus ini. Karena menurut Polsek Bungku selatan mereka sudah berusaha untuk memfasilitasi keempat perusahaan itu untuk ketemu dengan masyarakat namun keempat perusahaan tidak mau hadir dengan alasan yang tidak jelas.

Albart
(Divisi Pengembangan Jaringan JATAM Sulteng)

(Tulisan ini telah melalui proses editing oleh Andika)

Tinggalkan Komentar Anda :