ANOMALI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PETI DI-POBOYA

Beberapa hari terakhir, kita disuguhi berita di media Massa Sulawesi Tengah tentang, Penambangan Ilegal oleh beberapa perusahaan didalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya. Protes masyarakat yang diwakili oleh LSM pegiat tambang dan lingkungan adalah bagian dari upaya mendesak tanggungjawab aparat penegak hukum untuk melaksanakan perintah Undang-Undang, baik Undang-Undang pertambangan, Lingkungan Hidup maupun Undang-Undang Kehutanan.

Aktivitas penambangan tanpa izin di Poboya, dimulai sejak Tahun 2007, dimana masyarakat setempat mencari emas dengan cara-cara tradisional. Seperti mendulang di sepanjang sungai Pondo. Hal tersebut belum menimbulkan keresahan oleh masyarakat secara luas. Tetapi sejak informasi ditemukannya emas oleh penambang dari luar daerah Sulawesi Tengah, membuat penambang dari daerah-daerah luar seperti Bombana, Gorontalo dan Manado datang dan memulai aktivitas dengan menggunakan Tromol, hal tersebut dimulai sejak awal tahun 2008 dan menuai protes keras dari berbagai elemen masyrakat di Kota Palu.

Tahun 2010 hingga 2012 aktivitas menambang Tradisional mengalami penunrunan secara siginifikan, yang semula diperediksi mencapai 5.000 orang menjadi berkurang hingga ratusan orang saja. Hal tersebut di picu selain ditemukannya sumber-sumber emas di tempat lain seperti di Gunung Botak Ambon, di Dondo Tolitoli Hingga di Dongi-dongi Kab. Poso, juga pendapatan para penambang dengan metode tradisonal semakin hari makin berkurang.

Berkurangnya jumlah penambang di Poboya seperti dikemukakan diatas, membuat banyak pihak kurang memantau sudah sejauh mana pengelolaan tambang yang dilakukan dilokasi tersebut, yang mengagetkan adalah pada awal Tahun 2015 metode dan pemain tambang emas dilokasi tersebut mengalami perubahan secara signifikan baik dari proses penagmbilan material hingga pada proses pengolahan material menjadi emas. Proses tersebut tenryata telah melibatkan korporasi dan modal yang tidak sedikit. Hal tersebut diketahui oleh publik sejak wakil walikota melakukan kunjungan mendadak untuk melihat dari dekat mekanisme penambangan tanpa izin di Poboya.

Penambangan tanpa izin tersebut telah masuk dalam kawasan Taman Hutan Raya, tidak main-main terdapat tiga nama perusahaan yang sempat terlihat melakukan aktivitas eksploitasi, dinataranya; PT. Madas, Panca Logam dan S. Mahakam. Bahkan disinyalir selain melakukan penambangan tanpa izin didalam kawasan hutan, juga menggunakan bahan beracun untuk mengurai emas dari tanah. Tidak tanggung-tanggung, jumlah emas hasil proses pengendapan mencapai puluhan kilogram. Hal tersebut merupakan pencapaian pantastis dari penambangan tanpa izin yang dilakukan di dalam kawasan hutan (TAHURA).

Taman hutan raya sendiri secara legal berdasarkan SK Menteri Kehutanan pada tahun 1995 dengan Nomor SK; 461/Kpts II/1995 tentang perubahan fungsi cagar alam Poboya seluas 1.000 Hektar. Informasi lainnya adalah TAHURA berada dalam konsesi milik PT. Citra Palu Mineral, PT. CPM sendiri adalah satu anak perusahaan Bumi Resources Mineral.

Menanti Kesungguhan Aparat Penegak Hukum.

Menurut Soerjono Soekanto, 1979. Ada lima factor yang mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia; Pertama Faktor Hukumnya sendiri, Kedua Faktor penegak Hukum, ketiga Faktor sarana dan Prasarana ke empat, factor masyarakat dan Kelima, Faktor kebudayaan. Dari kelima factor tersebut, ada dua factor menurut hemat penulis yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum dalam sektor pertambangan, khususnya Penambangan tanpa izin yang terjadi di Poboya. Kedua factor tersebut adalah;

Pertama; Faktor Pengak Hukum, factor ini adalah factor kunci dari kompleksnya permasalahan penambangan tanpa izin di Poboya. Sebab jika melihat aturan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, maka kita akan melihat dengan jelas dalam Pasal 158 tersirat bahwasanya setiap pelaku penambangan tanpa memegang izin dikenai ancaman pidana 10 Tahun dan denda 10Milyar Rupiah. Kemudian, dalam Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan juga dengan tegas terdapat dalam pasal 50 ayat 3 huruf g, secara tersirat dinyatakan bahwa setiap aktivitas yang eksplorasi dan eskploitasi tambang dalam kawasan hutan tanpa izin menteri dikenakan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda 5 Milyar rupiah. Ketegasan Undang-undang tersebut harusnya dibarengi dengan tindakan kesungguhan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Polda Sulawesi Tengah untuk menjerat perusahaan yang melakukan aktivitas melanggar hukum. Jika hal tersebut terus dibiarkan, maka sudah pasti ada masalah dalam tubuh penegak hukum khususnya Polda di Sulawesi Tengah. Jika tidak ingin mendapatkan tudingan ada masalah di tubuh penegak hukum, maka solusinya harus ada tindakan transparan dan terbuka oleh aparat dalam waktu cepat untuk mengungumkan baik nama perusahaan maupun manajemen yang mengelola secara melawan hukum untuk mendapat upaya penindakan.

Kedua: Faktor Masyarakat, factor masyarakat ini adalah factor ketiaan lapangan pekerjaan, untuk itu pemerintah Kota Palu dan Pemerintah Sulawesi Tengah harus kreatif membangun lapangan kerja sehingga masyarakat tidak terpikir untuk melakukan aktifitas yang melanggar hukum.

Kesimpulan tulisan ini adalah mendesak penegak hukum untuk melakukan upaya penindakan terhadap manajemen dan penyandang modal perusahaan. Tujuannya adalah, untuk perlindungan masyarakat Kota Palu yang terancam terkena dampak kerusakan lingkungan akibat eksploitasi emas yang menggunakan bahan beracun di Poboya.

Oleh; Syahrudin, SH

(Penulis adalah Calon Magister Hukum Bisnis di Universitas Tadulako)

Tinggalkan Komentar Anda :